Politik uang dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia merupakan permasalahan yang terus mengemuka. Oleh karena itu, reformasi sistem pemilu dipandang sebagai agenda paling mendesak untuk mengatasi politik uang.
Hal tersebut diangkat di Sekolah Demokrasi yang berlangsung selama 3 hari di Leiden, Belanda, dan ditutup pada Sabtu (25/6/2022). Sekolah Demokrasi diselenggarakan oleh
Program Studi Pemerintahan, Universitas Diponegoro, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Royal Institute for Caribbean and Asian Studies, Leiden, dan Perhimpunan Pelajar Indonesia Leiden dan ditutup dengan seminar bertajuk “Mendorong Lahirnya Calon Pemimpin Hasil Pemilu 2024”.
Dr. Hardi Suwarno, dekan Fisipol Universitas Diponegoro, menyerahkan buku refleksi 100 sarjana tentang demokrasi Indonesia kepada direktur KITLV, Leiden
Seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, pada dasarnya semua pihak sepakat dengan pemilu yang bebas dari politik uang, baik kalangan akademisi paling idealis maupun politisi paling konservatif. Namun, mereka tidak berdaya untuk menolak karena ada situasi berupa “informality trap”, yaitu situasi ketika politisi khawatir tidak akan bisa memenangkan pemilu tanpa politik uang.
Sementara di sisi lain, masyarakat harus menerima bahkan “meminta uang” dari politisi. Sebab, pemilu merupakan satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk ikut serta menerima insentif dari proses pemilu. Di sisi lain, pengusaha merasa terdorong untuk memberikan uang kepada politisi dalam pemilu karena takut bisnisnya akan terkendala oleh kebijakan penguasa jika tidak melakukannya.
Didik J Rachbini, Ketua Pengurus LP3ES, mengatakan politik uang yang terjadi secara masif perlu dicegah. Hal itu dilakukan dengan menangkap kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi, mulai dari tingkat kabupaten dan kota hingga provinsi, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Didik, tingginya tingkat ketimpangan ekonomi menjadi penghambat pembangunan demokrasi. Dalam kerangka itu, politik uang merupakan subsidi yang mengalir secara masif kepada kelompok tertentu sebagai bagian dari korupsi politik.
“Memasuki lingkungan politik itu seperti arena judi, terjebak dalam jebakan informalitas. Kalau jadi anggota DPR, misalnya, tidak terlibat kasus di KPK, itu sudah prestasi besar,” kata Didik.
Partai politik, kata Didik, juga dipandang sebagai biang korupsi. Sebab, ada praktik jual beli calon, tapi tidak kena sanksi hukum. Dalam hal ini, ambang batas pencalonan presiden dipertahankan 20 persen karena partai politik bisa mengontrol proses pemilihan pejabat eksekutif, seperti Gubernur Bank Indonesia, Ketua BPK, dan Ketua KPK.
Menurut peneliti KITLV Leiden yang juga guru besar Universitas Amsterdam, Ward Berenschot, tantangan demokrasi di Indonesia masih berkisar pada tingginya tingkat korupsi, oligarki, dan partai politik. Beberapa masalah ini terkait erat dengan sistem pemilu saat ini.
Para peserta sekolah demokrasi menikmati sesi minum kopi setelah tiga hari sekolah.
Partai politik, kata Didik, juga dipandang sebagai biang korupsi. Sebab, ada praktik “jual beli calon”, namun tidak ada sanksi hukum yang diberlakukan di sana.
Bagi yang frustasi, mungkin akan memilih jalan pintas, yakni kembali ke masa lalu diktator. Namun, masalah ini harus dicarikan solusinya, termasuk menghentikan praktik jual beli suara dalam pemilu, salah satunya dengan memperkuat kewenangan dan anggaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Direktur Media dan Demokrasi LP3ES yang juga Peneliti Tamu di KITLV Leiden dan dosen Universitas Diponegoro Wijayanto menilai pemilu semakin dekat yang hanya terlihat sibuk membangun koalisi dan berkampanye untuk mendongkrak popularitas. dan elektabilitas. Sementara itu, diskusi substantif tentang isu-isu publik menggelegar
0 Komentar